Misteri orang pendek di Taman Nasional Kerinci Seblat
August 25, 2017
Dua puluh tiga tahun silam di tengah kerapatan rimba Taman Nasional Seblat (TNKS) Jambi, Debbie Martyr hanya bisa mematung. Tubuhnya kaku saat makhluk besar, pendek, berbulu, dan tidak berekor melintas beberapa langkah di hadapannya.
“Saya tidak percaya dengan apa yang saya saksikan,” ujarnya kepada Beritagar.id, Minggu (30/7),di Sungai Penuh, Jambi.
Pada hari yang dilukiskannya itu, rasa penasaran yang terpendam bertahun-tahun bersambut. “Kamera yang saya pegang sampai terjatuh, dan (saya) tidak sempat untuk mengabadikannya,” kata Debbie.
Orang lokal menyebut makhluk yang dilihat Debbie Uhang Pandak atau orang pendek. Pada 1989 ketika mendaki Gunung Kerinci untuk kali pertama, Debbie mendengar cerita tentang makhluk tersebut dari warga setempat.
Usai terbentur insiden seketika itu, Debbie pulang ke Inggris demi menggali lebih jauh kisah Uhang Pandak. Sialnya, dia tak mendapatkan banyak petunjuk di kampung halamannya. Karena itu, pada 1993 perempuan itu memutuskan kembali ke Indonesia.
“Awalnya mau datang ke Pulau Komodo dan Flores. Tapi karena tahun itu di sana gempa, saya putuskan kembali ke Kerinci,” katanya.
Lantas, pada kedatangan kedua, Debbie berupaya mencari orang-orang yang pernah melihat dan bertemu Uhang Pandak. Dari mereka dia beroleh cerita sama, yakni bahwa makhluk dimaksud pendek besar, berjalan dengan dua kaki, dan tubuh berbulu.
“Saya semakin penasaran. Sampai akhirnya saya harus menyusuri taman nasional untuk membuktikan bahwa makhluk ini ada,” ujar Debbie.
Debbie akhirnya melihat makhluk yang selama ini dia buru pada 1994. Perjumpaan terjadi setelah dia berada hampir tiga minggu di hutan TNKS Jambi.
“Banyak yang marah kepada saya, mengapa tidak langsung mengambil foto. Mereka tidak tahu bagaimana terkejutnya saya ketika pertama kali melihat makhluk ini,” ungkapnya.
Penyaksian itu tak membuat Debbie berhenti mencari. Tekad ia pahat: jika kelak melihat atau bertemu Uhang Pandak, dia bakal menembakkan kameranya.
“(Saya) hanya bisa bercerita pengalaman bertemu. Sama dengan warga Kerinci yang lain,” jelasnya. “Sampai lima kali saya ketemu Uhang Pandak. Satu pun tidak ada yang bisa saya foto,” ungkapnya. Menurutnya, problem yang dihadapi saat peristiwa tak tunggal, mulai dari perkara jarak hingga kondisi alam–misal, terhalang ranting dan rimba lebat.
Mantan jurnalis London itu menyatakan Uhang Pandak bergerak sangat cepat saat menghilang. Upaya pemasangan perangkap kamera untuk merekam wujudnya di TNKS pun tidak membuahkan hasil.
“Wujud Uhang Pandak ini hanya pernah ada sketsanya. Dibuat seorang pelukis di Kerinci dengan mendengarkan kesaksian warga,” ujarnya mengenai makhluk yang belum dapat dibuktikan keberadaannya secara ilmiah.
Debbie pernah menyerahkan sejumlah foto berisi jejak dan kotoran dari arsip pribadinya ke Balai Besar TNKS. Tapi, “belum ada yang mau melakukan penelitian secara serius terhadap makhluk ini,” katanya.
Kondisi demikian berujung kepada keputusan untuk tak lagi mencari Uhang Pandak pada 1996. Walau begitu, Debbie masih beraktivitas di TNKS demi melindungi Harimau Sumatera yang terancam punah.
“Secara profesional saya tidak lagi mencari keberadaan Uhang Pandak. Tapi secara pribadi, saya masih menyimpan keinginan untuk membuktikan keberadaan Uhang Pandak di Kerinci,” kata perempuan yang meyakini Uhang Pandak adalah sejenis primata.
Uhang Pandak tergolong primata
Keyakinan Debbie jelas berseberangan dengan pendapat khalayak mengenai Uhang Pandak. Pada sangka mereka, seperti teraba pada kisah-kisah yang tersebar, Uhang Pandak manusia. Bahkan, ada pula orang-orang yang percaya bahwa Uhang Pandak memiliki kaki terbalik (tumit di depan, jari di belakang).
“Banyak juga orang-orang yang menambah-nambah cerita mengenai Uhang Pandak ini. Hanya beberapa orang yang bisa saya percaya dengan kesaksian bertemu dan melihat Uhang Pandak,” ungkapnya.
Dalam hemat Debbie, kekayaan fauna di TNKS masih berselubung misteri. Satu misal dari kenyataan ini bertaut pada pengalamannya saat melihat sejenis kijang langka terjerat jebakan warga. Menurutnya, hewan dimaksud termasuk sebagai Kijang Gunung yang sudah dinyatakan punah di TNKS.
Walau
Uhang Pandak lekat dengan teka-teki, bukan Debbie belaka yang pernah
berkesempatan melihatnya. Rahmat Arifin, pendamping Debbie ketika
meneliti Uhang Pandak pada 1994, mempunyai pengalaman serupa.
Staf Seksi Pengelolaan TNKS Wilayah I Kerinci ini berkisah bahwa selama sebulan pencarian, dia dan Debbie tak sekali pun menemukan Uhang Pandak di medan yang diceritakan warga.
“Justru kamera trap yang kami pasang lebih banyak menangkap gambar Harimau Sumatera,” kata Arifin di Kantor Balai TNKS di Sungai Penuh, Senin (31/7).
Arifin akhirnya menyarankan Debbie untuk meneliti Harimau Sumatera yang benar-benar ada di TNKS.
“Saya sampaikan kepada Ibu Debbie, Harimau Sumatera ini perlu dilindungi. Ibu Debbie memutuskan untuk melakukan penelitian Harimau Sumatera dan menghentikan pencarian Uhang Pandak,” kata Arifin.
Menurut Arifin, upaya pelestarian Harimau Sumatera di TNKS berawal dari penelitian Uhang Pandak. Soalnya, penelusuran di daerah itu banyak menemukan pembalakan liar dan jerat harimau.
“Sampai sekarang pelestarian Harimau Sumatera ini terus dilakukan,” katanya.
Dia mengatakan bahwa di tengah masyarakat beredar cerita yang kadang tidak masuk akal mengenai temuan fauna di TNKS.
“Saya ada ketemu operator chainsaw dan orang kampung (yang) menceritakan di dalam TNKS pernah melihat jigau, binatang berbadan kuda berkepala seperti singa. Hampir sama, cerita masyarakat mengenai Uhang Pandak di Kerinci ini,” ungkapnya.
Menurut Arifin, kekayaan flora dan fauna di TNKS yang begitu kaya memungkinkan temuan tertentu. “Jigau ini ceritanya banyak ditemukan di kawasan TNKS yang berada di Sumatera Selatan,” ujarnya.
Pada 2002, Arifin menjumpai Uhang Pandak saat sedang memetakan jalur perdagangan harimau. Waktu itu, dia dan tiga anggota timnya berpatroli di wilayah Tabir. Kemudian, mereka masuk ke TNKS selama dua belas hari.
Pada hari keenam, timnya menyeberangi Sungai Batang Tabir ke arah muara. Saat melewati Bukit Terbakar (disebut ‘terbakar’ karena sering dilahap api), GPS dan Kompas yang mereka pegang tidak berfungsi. Kelompok itu sempat mengitari bukit hingga tiga kali dan tidak menemukan jalan keluar.
“Kemudian kami ketahui Bukit Terbakar ini banyak batu meteor. Mengandung biji besi dan magnet yang mengakibatkan GPS dan Kompas tidak berfungsi,” katanya.
Arifin mengambil cara alternatif. Dia menempuh koordinat 170
derajat ke arah desa terdekat. Lalu, ketika menuruni bukit, tepat 10
meter di hadapannya, terlihat primata persis dengan cerita yang selama
ini didengarnya.
“Primata itu membelakangi saya. Warnanya abu-abu seperti kera. Tinggi kira-kira semeter, tubuhnya besar. Bisa juga dibilang mirip Orang Utan,” ujarnya.
Peristiwa itu memicu rasa kagum dan terkejut. Namun, gerakan dari tiga orang anggota timnya yang sedang menuruni bukit membuat primata itu lari dan raib ditelan lebat pepohonan TNKS.
“Padahal sudah saya kasih kode untuk berhenti. Tapi mereka ada yang berlari dan terdengar oleh primata ini,” kata Arifin. Sejak saat itu, dia akhirnya mulai membenarkan cerita orang-orang.
Sosok lain yang pernah bersua Uhang Pandak adalah Iskandar Zakaria, 74 tahun, seorang tokoh masyarakat Kerinci. Meski terjadi pada akhir 1990-an, Zakaria masih mengingat jelas momen pertemuan dengan Uhang Pandak dari jarak dua hingga tiga meter saja.
Menurut Iskandar, subuh belum lagi tiba pada saat kejadian. Tapi, dia mengaku “sudah bisa melihat sekitar (-nya) dengan jelas”. Saat itu, ujarnya, dia tengah berjongkok di tepi sungai di perkebunan Gunung Raya sambil memandangi bukit di hadapannya.
Uhang Pandak kemudian turun dari bukit dimaksud. “Saya terkejut dan hanya bisa diam saja. Karena, Uhang Pandak itu berjalan tepat di hadapan saya,” kata Iskandar di kediamannya, Minggu (30/7).
Iskandar pun hanya terdiam. Mata mereka beradu pandang. “Kejadian itu cepat sekali. Karena, setelah melintas di hadapan saya, Uhang Pandak hilang ke dalam hutan,” jelasnya.
Dalam amatannya, wajah Uhang Pandak sama sekali tidak menyerupai manusia. Sekujur tubuhnya–bertinggi sekitar 80 sentimeter–ditutupi bulu seperti Orang Utan. Makhluk itu “pendek, gemuk dan matanya merah. Panjang tangannya melebihi lutut,” ujarnya.
Karena melihat langsung, Iskandar membantah cerita bahwa kaki Uhang Pandak terbalik. “Kaki terbalik itu hanya mitos. Karena, kakinya tidak terbalik,” katanya.
Iskandar lebih meyakini makhluk tersebut sebagai primata. Hanya cara berjalannya saja menyerupai manusia.
Iskandar sempat mengabadikan jejak, tempat tinggal, dan bekas makanan Uhang Pandak. Menurutnya, makhluk itu mendiami semak rimbun dan makan kulit kayu. “Dari yang saya temui di sekitar tempat tinggal Uhang Pandak ini banyak bekas kupasan kulit kayu,” ujarnya.
Perihal masih ada masyarakat yang tidak mempercayai kisah Uhang Pandak dan menganggapnya sebagai mitos belaka, Iskandar memberikan penegasan. “Saya pastikan Uhang Pandak ini benar ada. Bukan mitos,” katanya.
Dedi, pengendali ekosistem hutan Balai TNKS, berpendapat Uhang Pandak belum dikenali di TNKS karena luasnya taman nasional itu–1,4 juta hektare–dan minimnya penelitian mengenai primata tersebut.
Apalagi, kata dia, TNKS menjadi rumah bagi sembilan jenis primata seperti Ungko (Hylobates agilis), Siamang (Hylobates syndactylus), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina), Kukang (Nycticebus coucang), untuk menyebut beberapa saja.
Sudah begitu, TNKS berfokus pada satwa prioritas seperti gajah dan harimau menyusul stabilnya spesies primata.
“Laporan secara lisan sudah sering kami terima dari warga dan peneliti. Mereka mengaku melihat jenis primata ini. Tapi tidak bisa membuktikan kesaksiannya,” katanya di Balai Besar TNKS, Senin (31/7).
Meski demikian, Dedi mengatakan kemungkinan untuk meneliti primata yang lebih mirip Orang Utan masih terbuka lebar.
Menarik minat kelompok kriptozoologi
Upaya
pencarian Uhang pandak Kerinci juga dilakukan Dally Sandradiputra,
penekun kriptozoologi, yakni studi mengenai hewan yang keberadaannya
belum dapat dibuktikan secara ilmiah dan masuk dalam ranah pseudosains.
Dia melakukan pencarian Uhang Pandak sejak 2008 dan mulai rutin
menjalankannya sejak 2012. Dalam ekspedisi tersebut, Dally menjelajahi
hutan Kerinci yang berbatasan dengan Sumatera Barat, Bengkulu, dan
Sumatera Selatan.
“Berawal dari saya mendampingi tim National Geographic untuk mencari Orang Pendek Kerinci. Saat itu saya tidak begitu tertarik, hanya mendampingi saja,” ujarnya kepada Beritagar.id, Rabu (16/8).
Karena Indonesia tak memiliki komunitas kriptozoologi, Dally bergabung ke kelompok yang anggotanya banyak berasal dari luar negeri.
Namun, upaya perburuan sejauh ini belum berhasil. Belum sekali pun dia melihat langsung makhluk berjuluk Uhang Pandak meski telah menelusuri kawasan yang diyakini sebagai lokasi kemunculan–baik sungai, gua, maupun hutan di TNKS.
Pada 2017, Dally menemukan bulu rambut. “Tapi belum bisa saya pastikan karena belum dilakukan uji labor terhadap jejak dan bulu rambut yang saya dapatkan,” katanya.
Satu kendala terbesar adalah urusan pendanaan. Pasalnya, Dally sulit mengandalkan dana pribadi untuk memeriksa temuannya di laboratorium. “Untuk tes DNA saja di luar negeri pernah saya cek butuh dana dua ribu dolar,” ujarnya.
Sempat Dally mendapatkan foto makhluk dimaksud. Hanya, foto itu diambil dari jauh dan terhalang pepohonan. “Foto itu pernah saya diskusikan ke komunitas dan ahli kriptozoologi yang lain. Kami meyakini itu adalah foto Uhang Pandak Kerinci,” jelasnya.
Foto itu dia ambil di Sumatera Barat. Menurutnya, sebelum menjepret dia mendengar suara seperti orang berlari. Setelah diamati, sosok itu tampak seperti Uhak Pandak. “Setelah difoto, tidak terlihat jelas,” katanya.
Selama ekspedisi, dia menemukan berbagai persoalan di kawasan hutan Kerinci dan Sumatera Barat seperti, salah satunya, “aktivitas illegal logging“.
Selain itu, dia tak sekali saja mesti berhadapan dengan ancaman binatang buas. “Pernah tempat kami menginap di dalam hutan ditunggu Harimau. Pada pagi harinya di dekat sungai tempat kami memasang tenda, banyak jejak harimau yang masih baru,” katanya.
Meski begitu, upaya pencarian Uhang Pandak tak surut sekalipun dia pernah dianggap gila karena mencari binatang yang belum jelas keberadaannya.
“Saya ingin sekali ketemu Uhang Pandak. Ekspedisi ini akan terus saya lakukan sampai ketemu,” ujarnya.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/misteri-orang-pendek-di-taman-nasional-kerinci-seblat
Saya adalah seorang penggemar Cryptozoology, Hiking, Camping, Traveling, Saya menulis di blog untuk membagikan pengalaman saya. Terima kasih telah berkunjung