RAHAYU (Elegi Rahayu)
July 3, 2020

Rahayu……Rahayu….. Salam Rahayu….. Salam Waras. Salam yang diucapkan kepada Rahayu, seorang gadis Desa, ketika bertemu Rahayu di sebuah acara Paguyubannya. Sembari melepas senyum kepada sesama anggota paguyuban lainnya. Begitu lah keakraban mereka di setiap ada sebuah ritual yang diadakan oleh sesepuh di sebuah tempat Sembah Hyang nya.
Rahayu adalah seorang gadis di sebuah Desa terpencil yang mayoritas penduduknya bertani dan berkebun. Di desa Rahayu pun terbentang luas kebun teh yang sangat luas, kebun the ini merupakan peninggalan dari penejajahan Belanda, saat itulah banyak pekerja yang dikirim dari tanah Jawa, tidak ketiggalan mereka membawa paham kejawen ke daerah ini, sehingga masih berkembang hingga sekrang, walaupun sudah banyak juga yang pindah memeluk agama yang diakui oleh oleh Negara Republik Indonesia. Tetapi mereka semua hidup rukun di desa ini.
Rahayu adalah anak pertama dari 5 bersaudara, yang lahir, tumbuh dan berkembang dengan adat dan tradisi yang sangat kental, ajaran kehidupannya pun mengacu kepada prinsip dari paguyuban yang ada di Desanya. Rahayu dan keluarga beserta Anggota paguyubannya tetap berjuang untuk mendapatkan hak-haknya dari Negara yang dicintainya dimana tempat dilahirkannya adat dan tradisi ini.
Keramahan itu, berbading berbalik seperti langit dan bumi jika Rahayu bertemu dengan rekan-rekan nya yang lain, bukan hanya Rahayu, tetapi seluruh Anggota Paguyuban pun demikian, Bahkan di Negara ini pun hak-hak administrasinya pun sulit untuk di raih, bukannya kita menjunjung tinggi nilai keBhinekaan?
Padahal ajaran kami juga berlandasankan kepada Tuhan Yang Esa, misi dari ajaran kami juga bagus, Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi), Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga), Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia), Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta).Tentu tidak ada salah nya bukan? Selalu pertanyaan ini yang hinggap dikepala Rahayu, ketika kebanyakan orang mengucilkannya dimana dia menjadi seorang minoritas.
Menjadi minoritas dinegara ini memang sulit sekali, ah mungkin saja tidak jika saya berada di kota besar, dan mungkin saja pemikiran mereka lebih terbuka lagi, guman Rahayu dalam Hati.
Walaubagaimanpun itu, semunya sebenarnya berasal dari pribadi masing-masing, jika mereka berpikiran terbuka semuanya pun akan berjalan aman, tentram dan damai. Padahal indahnya kita hidup di dalam perbedaan, memang perbedaan tidak dapat bersatu, tetapi sangat bisa untuk berdampingan.
Pagi ini, matahari cerah seperti biasa, burung pun bersahut silih berganti, menyanyikan lagu alam yang ditemani oleh bunyi air dan angin.
Ibu dan Ayah pun bergegas, karena mendapat undagan untuk membuat KTP dari kantor kecamatan kami, ibu dan ayah Rahayu dengan semangat melangkahkan kaki ke kantor camat tersebut dengan harapan menyelesaikan hak administrasi nya sebagai warga Negara Indonesia. Begitu cintanya beliau untuk Negara Indonesia, dimana menjadi tempat tumpah darah.
Setibanya di kantor camat setempat, ibu dan ayah rahayu pun mengantri, memang cukup lama mengantri, karena pegawai kecamatan pasti banyak memasukan data penduduk yang dimintai oleh Negara Republik Indonesia.
Akhirnya tibalah giliran Ayah dan Ibu Rahayu dipanggil untuk mengisi data dan perekaman photo, ketika ditanya masalah agama, dan dijawab oleh Ayah dan Ibu Rahayu.
“Bapak agamanya apa?” Ucap pegawai kecamatan
“Saya Kejawen Bapak” balas Ayah Rahayu.
“Lho bapak, didalam aplikasi ini tidak ada menyebutkan agama kejawen, jadi bagaimana?” ucap pegawai kecamatan lagi.
“Ya, saya kejawen Pak”
“Bagaimana kalau bapak, saya masukin aja ke salah satu agama yang ada di Indonesia”
“Oh tidak pak, saya bukan itu, saya kejawen,”
Apa bisa dikosongkan saja kolom agama saya? Atau di strip saja?”
“Baik bapak, saya kosongkan saja y”
Setiba di rumah, ayah dan ibu rahayu merasa sangat kecewa dengan kejadian hari ini, sampai kapan kami tidak mendapatkan hak kami sebagai warga Negara Indonesia, padahal kami menganut agama asli Indonesia. Apa salahnya dengan kepercayaan kami ini?
Begitu lah guman dalam hati Rahayu berserta keluarganya, yang merasa hak-haknya sebagai warna Negara telah dirampas karena hanya perbedaan sebuah prinsip yang menurutnya adalah merupakan pegangan hidup, baik untuk menuju Hyang Kuasa kelak.
Hari itu, seluruh petani bersuka cita dengan hasil panen yang berlimpah ruah, dengan rasa syukurnya itu para petani termasuk Rahayu berserta keluarganya melakukan semacam ritual dengan membawa sesajen sebagai seserahan yang akan dilakukan di alam, ritual sedekah bumu yang akan dilakukan sebagai sebuah bentuk rasa syukur kepada Hyang Kuasa karena kelimpahan berkah yang diterima.
Rahayu pun sibuk mempersiapkan seluruh sesajen bersama keluarganya yang nanti akan dibawa ke tempat dimana mereka melakukan ritual kepada Hyang Kuasa.
Setibanya di lokasi, ritual sedekah bumi pun dilakukan oleh seluruh penganut kejawen yanga da di desa ini. Terlihat mereka dengan suka cita melakukan ritual ini, penuh dengan rasa haru diakhir acara, karena berkah dari Hyang Kuasa yang berlimpah untuk panen tahun ini.
Mbah darmo, sebagai sesepuh Desa itu pun memimpin ritual ini, dengan lantunan kidung yang dibacanya semua para pengikut pun berkomat-kamit mulut mengikuti mbah darmo. Doa yang dipanjatpun masuk kedalam empat unsur yakni Hati, Fikiran, ucapan dan tindakan. Semoga empat unsur ini melekat kepada kami semua.
**********
“Terima Kasih Gusti, saya masih diberi kesempatan untuk hidup kembali di hari ini, sedulur, papat limo pancer, mari kita nikmati hari ini dengan suka cita” Ujar rahayu dalam hati, ketika bangun tidur.
Ini adalah merupakan hal yang biasa dilakukannya, ketika bangun tidur dan mau tidur, Rahayu wajib membaca doa sembari Sembah Hyang kepada Gusti Hyang Kuasanya. Ini menandakan bahwa kehidupan Rahayu tidak terlepas dari Sang Maha Pencipta.
Rahayu pun bergegas memulai hari dengan penuh ceria, setelah memanjatkan doa kepada Hyang Kuasa. Seperti biasa Rahayu menyiapkan bekal untuk kedua orang tuanya yang akan ke Ladang untuk manggarap lahan mereka, yang kemaren baru saja sudah di panen.
Serasa petir menyambar di siang bolong, bumi ini seakan hancur binasa ketika Rahayu mendengar kabar bahwa Sang Ayah meninggal dunia ketika di kebun,
Upacara persiapan pemakaman pun siap dilakukan dengan memanjatkan doa kepada Allah Hyang Maha Kuasa, yang dipimpin oleh sesepuh, Mbah Darmo.
Seperti pada umumnya penganut kejawen, Rahayu pun bersama keluaga menyiapkan kambing untuk disemblih yang mana dilakukan sebelum pemakaman berlangsung. Pewajiban ingon, artinya pemberian makan kepada setiap sinoman pladen mayit dan para pentakziyah sebelum keberangkatan mayit, dan Mbukak dalan kubur, artinya membuka jalan pemakaman pada saat mayit akan diberangkatkan ke pemakaman dan setelah tiba di pemakaman dengan pembakaran dupa, ratus, merang, dan dlingu bawang serta menyapu jalan menuju pemakaman dan memecahkan genteng.
Setelah selesai prosesi pemakaman ini, Rahayu dan keluarga pun pulang ke rumah. Dan mempersiapkan lagi untuk acara doa yang akan dilaksanakan pada malam 1, 3, 7, 40, 100 harinya kemudian. Ini merupakan salah satu ritual wajib yang dilakukan bagi penganut kejawen.
Beruntung, ketika MK secara tidak langsung melegalkan penghayat kepercayaan ini, sejak saat itu semakin banyak yang menampakan jati dirinya karena juga telah banyak masyarakat yang menerima ajaran kami ini dan tidak dianggap lagi sebagai aliran sesat seperti yang telah terjadi beberapa waktu lalu, dan kamipun menerimanya dengan senang hati, berbahagia sekali hati kami, serta tak terhingga kami ucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia yang sudah melegalkan Penghayat Kepercayaan, sehingga kami pun berhak mencantumkan identitas di kolom agama, tidak seperti dulu, pada kolom agama di kosongkan. Semoga kedepannya, kami mendapat hak-hak kami sebagai warga Negara Indonesia mulai administrasi dan lain-lainya yang menyangkut dengan Indonesia Raya.

Saya adalah seorang penggemar Cryptozoology, Hiking, Camping, Traveling, Saya menulis di blog untuk membagikan pengalaman saya. Terima kasih telah berkunjung