MUMUT FOLKLOR MANUSIA KATAI DARI JAWA

July 22, 2019

Owil

Oleh: Didik Raharyono

Ayo, cepet ndhang dipangan segane. Mengko nek kesuwen ndhak dijupuk ambek si MUMUT. Wong kate sing omahe ning alas wetan kono….”
(Ayo, nasinya cepat dimakan. Nanti kalau kelamaan keburu diambil sama si MUMUT. Manusia katai yang rumahnya di hutan seberang timur sana….)


Kalimat diatas diucapkan Nenek dari Ibu kandung penulis, sewaktu beliau masih kecil di Pati Jawa Tengah sekitar tahun 1940-an. Ibu kandung penulis sangat ingat betul dengan cerita mumut, sebab sering dituturkan sebagai cerita supaya mau makan dan cerita pengantar tidur. Penyebutan mumut memang lazim digunakan untuk menakut-nakuti agar anak kecil di sekitar Pati kala itu agar segera mengabiskan nasi yang dimakannya, atau agar anak kecil menurut untuk segera tidur. Tetapi penulis mempunyai pengalaman bertemu orang yang bersaksi pernah melihat langsung manusia katai di Jawa.

Mumut begitulah manusia katai –bukan manusia cebol- biasa disebut. Tubuhnya kecil seukuran bocah 3 tahun, badannya berambut penuh bulu, tidak mengenakan pakaian sama sekali, bergerak dengan cepat dan gesit, walaupun bertubuh pendek tetapi sudah dewasa. Manusia katai menurut cerita ‘buyut penulis’ masih sering dijumpai di Jawa Timur, jumlahnya banyak, ada lelaki dan ada perempuan sehingga mampu beranak pinak (hal ini berdasar penuturan Ibu penulis dari Nenek Beliau). Mumut juga diceritakan takut dengan manusia dewasa, tetapi berani terhadap anak-anak kecil. Oleh karenanya dijadikan ‘media’ guna menakut-nakuti anak kecil agar menurut melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh orang dewasa kala itu.

Folklor atau Nyata?
Deskripsi di atas merupakan folklor mumut dari Pati Jawa Tengah. Menurut pendapat penulis perjumpaan dengan manusia katai (Homo pigmi sp) itu memang benar-benar pernah terjadi.  Mengapa penulis berani berargumentasi bahwa manusia katai itu masih ber’gentayangan’ di P. Jawa sampai Abad XXI ini dan tidak hanya sekedar folklor?

Tepatnya tahun 1997 saat melakukan investigasi harimau jawa di Jawa Timur, seorang pemandu lokal penulis (sebut saja namanya Pak Ti) bertutur pernah melihat langsung koloni manusia katai. Pak Ti telah puluhan tahun malang melintang menjadi pemburu babi hutan di Jawa Timur –sehingga beliau disertakan menjadi petunjuk jalan tim investigasi harimau jawa- dan beliaupun mengaku baru sekali itu bertemu dengan manusia katai. Kesaksian dari beliau tersebut dituturkan secara runut kepada penulis di suatu flaying camp di tengah hutan pada hari ke 10 dari 15 hari yang ditargetkan penulis berada dalam hutan. Beliau mengaku saat berjumpa dengan manusia katai tidak sendirian, melainkan ada seorang rekan berburunya yang turut menyaksikan langsung –walaupun hanya sebentar. Trauma paska perjumpaan dengan manusia katai tersebut menjadikan Pak Ti selama hampir satu setengah bulan tidak berani masuk hutan untuk sekedar berburu babi hutan lagi yang merupakan hobi dan mata pencahariannya.

Perilaku Sosial Manusia Katai
Secara tidak sengaja sewaktu Pak Ti berburu babi hutan di suatu hutan di tahun 1987 berjumpa dengan koloni manusia katai. Kala itu ada seekor babi hutan dewasa yang telah berhasil beliau cempuling. Belikat kiri babi hutan dipilih untuk dicempuling agar mata tombak dapat menembus jantung, tetapi babi hutan itu masih saja kuat berlari. Terpaksa beliau mengejar satwa buruannya dengan mengikuti arah bekas ceceran darah. Jarak pandang di dasar hutan itu hanya berkisar dua meter saja, sebab penuh dengan rumpun rotan dan belukar, akibatnya tanpa beliau sadari babi hutan yang terluka itu telah menghilang ke arah lembah. Merasa kehilangan jejak, pemandu lokal tersebut tetap melanjutkan pencariannya ke arah sungai.

Saat mendekati tebing sungai terdengarlah suara: “kwek-kwek…. kek-kek” sangat riuh dari dasar sungai. Mirip suara komunikasi golongan monyet. Terdorong rasa penasarannya, Pak Ti menuju bibir tebing sungai sambil mengendap-endap dibalik rerimbunan semak. Betapa terkejutnya beliau saat menyaksikan manusia katai dalam jumlah 40-an orang lebih. Mereka –para manusia katai tersebut yang berada di dasar sungai sedang beraktivias menangkap binatang dari air. Di antara kesibukan manusia katai yang sedang berburu entah ikan ataupun udang tersebut, ada seorang yang telah terlihat sangat tua dan laki-laki duduk di atas batu besar sambil mengawasi kawan-kawannya. Pemandangan menakjubkan itu disaksikan Pak Ti tepat saat matahari berada diatas kepala.

Pak Ti menuturkan bahwa lama pengintaian yang beliau lakukan lebih dari satu jam, oleh karenanya beliau mampu mendiskripsikan perihal morfologi dan berbagai atraksi perilaku manusia katai tersebut. Dituturkan pula, bahwa manusia katai itu keadaannya telanjang bulat, tidak menggunakan penutup tubuh ataupun alas kaki. Oleh karena itu beliau mampu mengenali manusia katai itu laki-laki ataupun perempuan. Dan semua manusia katai itu berperut buncit, berambut keriting dan seluruh tubuhnya ditumbuhui rambut kehitaman tetapi tidak selebat monyet. Manusia katai yang lelaki berkumis dan berjenggot, sedang yang perempuan buah dadanya lebih menonjol layaknya manusia normal, namun manusia katai ini tidak memiliki ekor. Tinggi tubuh yang dewasa sekitar 80-an cm. Cara berjalan dan berlarinya sama seperti manusia normal, artinya berjalan tegak dan tidak merangkak. Yang masih anakan tinggi tubuhnya setengah dari tinggi manusia katai dewasa, akan tetapi memiliki perilaku suka bermain atau bergurau dengan anak-anakan yang lainnya.

Aliran sungai yang menjadi tempat aktivitas manusia katai tersebut dibuat tanggul-tanggul kecil dan bersekat batu yang ditata sangat rapi, sehingga mengakibatkan banyak ikan dan udang terjebak di dalamnya. Para perempuan bertugas menangkap satwa buru menggunakan tangannya secara langsung, sedangkan para lelakinya mengangkat batu. Mereka bekerja secara berpasang-pasangan –sepertinya satu keluarga, demikian Pak Ti menambah penjelasannya. Setelah satwa buruan tertangkap, selain dimakan sendiri terkadang diberikan kepada anaknya. Dengan cekatan si anak akan merebut ikan yang diberikan oleh induknya, lalu dia memakannya mentah-mentah setelah membunuh ikan tersebut dengan memukulkannya ke batu.

Selesai makan, anakan itu langsung berlarian dan berkejaran dengan anakan yang lainnya. Terkadang anak-anakan yang berlaian tersebut menerobos di bawah kaki manusia katai tua yang sedang duduk diatas batu. Lalu mereka berloncatan dari satu batu ke batu yang lainnya dan dilanjutkan meloncat terjun ke genangan air sungai yang jernih. Anakan tersebut kemudian berenang-renang dengan sambil menyelam menuju ke tepi sungai (gisik: Jw.) dan dilanjutkan dengan bergulung-gulung di pasir sambil bergurau dengan suara teriakan cicitan yang sangat khas. Lalu terjun ke air sungai lagi membersihkan pasir yang menempel di tubuhnya. Beberapa anakan yang lain terlihat berjemur di tepi sungai atau ada yang di atas bebatuan.

Tidak ada percakapan diantara mereka, selain menyuarakan bunyi kwek…-kek, kwek… atau suara yang sejenis itu. Perebedaannya hanya terletak di intonasi dan cengkok dalam penyuaraannya yang biasanya disertai dengan sedikit gerakan kepala patah-patah kedepan atau kesamping kiri dan kanan (saat bertutur Pak Ti memperagakannya, meski terlihat temaram di bawah sorot api unggun yang kami gunakan sebagai penghangat di dalam hutan kala itu). Bahkan terlihat pula ada betina yang perutnya sangat buncit seperti sedang hamil, sebab berbeda dengan betina yang lainnya. Demikian Pak Ti mendiskripsikan dan menjelaskan apa yang pernah dilihatnya sekitar sepuluh tahun yang telah berlalu.

Goa Hunian di Bibir Sungai
Di seberang sungai, Pak Ti sempat mengamati sebuah mulut goa selebar 2 meteran. Mulut goa menghadap ke arah sungai dan posisinya setinggi dua tombak dari dasar sungai. Kemungkinan goa tersebut merupakan tempat hunian manusia katai, prediksi Pak Ti. Terlebih dengan jelas terlihat adanya lintasan jalan berundak yang menghubungkan dasar suangai dengan mulut goa. Lintasan tesebut sangat bersih seperti bekas jalur landak yang sering digunakan lalu lalang.

Owil
Perilaku anakan manusia katai tersebut merupakan atraksi lucu dan menarik sehingga merangsang minat Pak Ti untuk menangkapnya guna dibawa pulang. Beliau bahkan sempat berpikir tentang strategi agar bisa mendapat anakan manusia katai tersebut untuk dijadikan sebagai obyek tontonan warga sekampung. Seandainya berhasil ditangkap maka akan dibawa pulang, sehingga siapa yang ingin menyaksikan anakan manusia katai tersebut akan dipungut uang sekadarnya, tentu akan menjadi sumber penghasilan untuk memperbaiki musholla di kompleknya.

Niat tersebut urung karena seorang karib berburunya mendadak datang dengan berteriak-teriak lantang memanggil namanya. Dengan isyarat jari telunjuk menempel di mulut, Pak Ti mengharapkan agar karibnya itu diam. Setelah itu dilambaikannya tangannya agar temannya mendekat. Tersebab mendengar suara riuh dari dasar sungai, temannya penasaran untuk mengetahui satwa apa yang telah disaksikan oleh Pak Ti. Setelah dekat di bibir sungai temannya diminta untuk melihat sekawanan manusia katai yang sedang beraktivitas mencari makan di sungai. Begitu menyaksikan manusia katai yang berjumlah banyak, hanya dalam hitungan menit temannya ketakutan lalu berlari menjauh. Pak Ti lalu melongok ke dasar sungai di mana manusia katai beraktivitas. Dilihatnya seorang manusia katai tua yang duduk di tepi sungai menggerakan kepalanya seolah-olah mencari sesuatu, sepertinya mendengar suara hentakan kaki akibat teman Pak Ti itu berlari tunggang langgang. Dengan tatapan tajam dan mendongakkan hidunganya ke kanan dan ke kiri seolah telah mencium kehadiran manusia, maka manusia katai tua mengawasi terus posisi semak dimana Pak Ti bersembunyi mengintai. Tidak begitu lama berselang, setelah merasa diperhatikan terus oleh manusia katai tua, maka Pak Ti kemudian bergegas lari meninggalkan tempat pengintaiannya. Dengan begitu urunglah niat beliau mau mengambil seorang anak manusia katai untuk dipamerkan di kampungnya.

Hampir sebulan setengah lebih, Pak Ti itu selalu bercerita kepada siapa saja tetangganya yang bertandang ke rumahnya perihal perjumpaannya dengan manusia katai saat berburu babi hutan. Ada beberapa orang tetangga desa yang berprofesi sebagai pemburu burung, menganggap bahwa perjumpaan dengan manusia katai itu hal biasa, bahkan mereka telah menamainya sebagai OWIL. Hal itu dikarena para pemanen burung di Meru betiri ini juga sering berjumpa dengan Owil, hanya saja jumlah yang biasa ditemui di sekitar aliran sungai itu sekitar 2 – 5 orang saja, tidak sebanyak yang diceritakan Pak Ti.

Hewan, Bukan Jin
Selesai Pak Ti berkisah, penulis mencoba mengomentari bahwa yang beliau lihat adalah penampakan jin bukan golongan manusia ataupun hewan. Di luar dugaan, Pak Ti bersikukuh bahwa apa yang dilihat adalah hewan, karena beliau bisa menyaksikan hampir selama satu jam lebih dan temannya juga bisa ikut melihat manusia katai tersebut. Kemudian beliau menyakinkan: saat anakan manusia katai berkejaran di atas batu, menyelam di air dan berlari di gisik sungai dengan jelas masih meninggalkan jejak acak-acakan di atas pasirnya.
Berdasar penuturan Pak Ti tersebut, penulis berusaha mengaktualisasikan gambar sketsa manusia katai di buku catatan lapang pada keesokan harinya. Setelah selesai membuat gambar itu, lalu penulis tunjukkan sketsa owil tersebut kepada Pak Ti, beliau mengiakan jika bentuknya seperti sketsa tersebut. Hanya saja beliau mengoreksi dan meminta untuk ditambahkan keterangan bahwa hidung manusia katai tersebut agak mancung dan penulis diminta memberi tambahan tulisan “OWIL”.

Dipendam Tujuh Tahun
Penuturan tentang kesaksian warga sekitar hutan yang berjumpa dengan owil masih sering penulis jumpai pasca 1997. Tetapi sengaja tidak dipublikasikan oleh penulis karena bukti otentik tentang mumut atau owil atau manusia katai tersebut masih sebatas penuturan lesan.

Akan tetapi akhir-akhir ini telah mencuat berita temuan tentang fenomena fosil manusia kerdil dari Flores yang sangat unik lagi menarik. Harapan dari pemaparan tulisan ini adalah supaya kesaksian masyarakat bisa memperkaya informasi dan menjadi bunga rampai kekayaan ilmu pengetahuan khususnya di Jawa yang identik dengan budaya bertutur.

Menurut analisis penulis ada pelajaran berharga dari kesaksian perjumpaan manusia katai yang masih hidup di belantara hutan di tanah Jawa, yaitu: 1) ada sebagian ‘relung ruang’ yang ternyata masih menyisakan kehidupan bagi suatu jenis ‘spesies misteri’; 2) kemampuan manusia katai beradaptasi terhadap habitatnya tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan; dan 3) kesaksian masyarakat lokal merupakan kunci untuk membuka ilmu pengetahuan baru.

Baik kita sadari ataupun tidak: kepadatan penduduk di Jawa hanya terakumulasi di kantong-kantong populasi seperti di kota-kota besar; kebudayaan manusia modern dalam mengelola sumber daya alam telah menimbulkan kerusakan dan bencana ekologis; dan kita masih arogan serta berjiwa imperialism dengan tidak mau berbagi ruang kehidupan terhadap spesies selain manusia.

Penutup
Semoga manusia katai atau owil atau mumut tetap lestari dan hidup nyaman di belantara hutan tanah Jawa tanpa gangguan ‘peradaban’ manusia modern dan semoga ‘kenyamanan’ individu-individu manusia katai tersebut masih bisa menikmati ‘habitat’nya seperti saat dijumpai Pak Ti, walaupun tulisan ini dipublikasikan.

Kulonprogo, 29 Juni 2005
Penulis

Didik Raharyono,S.Si.
Peneliti Biologi Hidupan Liar.



d/a:
Mes Karyawan PPS Jogja
Dusun Paingan, Desa Sendangsari, Kec. Pengasih, Kab. Kulonprogo.
DI. Jogjakarta. 55652


Catatan:
Tulisan ini diangkat berdasarkan penuturan seorang pemandu lokal dari Jawa Timur yang pernah menyaksikan Owil secara Langsung pada tahun 1987. Kebetulan Ibu Kandung penulis juga menuturkan perihal Mumut yang diperoleh dari cerita nenek beliau

Gambar Owil si Manusia Kerdil dari Jawa
Sketsa diatas dibuat penulis pada tahun 1997 saat melakukan investigasi harimau jawa di berbagai kawasan di Jawa Timur. Gambar ini dibenarkan dan dikoreksi Pemandu Lokal yang pernah melihat Owil secara langsung pada tahun 1987. Secara tidak langsung penuturan dan sketsa Owil ini menjawab tentang kebenaran folklore Mumut yang dituturkan oleh nenek buyut kepada Ibu Kandung penulis.

Leave a Reply:

Your email address will not be published. Required fields are marked *