Rumah di Subarang Aia (1)

May 2, 2023

Rumah di Subarang Aia

MOTOR BALAP

Cerita ini diawali ketika Burhanudin menjadi siswa SMA. Burhan (panggilan singkatnya) di terima di salah satu SMA Negeri favorit dan telah belajar tiga bulan lamanya. Ayah Burhan adalah seorang pegawai PT. TELKOM, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi meskipun begitu hidup mereka dapat digolongkan menengah ke atas. Keluarga mereka termasuk keluarga yang terpandang di lingkungan sosialnya. Rumah seberang air adalah tempat tinggal mereka. Rumah itu di bangun di atas tanah milik pasukuan (keluarga besar) ibunya. Namun dapat dikatakan kalau rumah itu telah menjadi milik mereka.

Pagi itu Burhan bangun sedikit telat dari biasanya. Tapi itu tidak jadi masalah, karena hari itu adalah hari minggu. Setelah mandi dan sarapan pagi ia duduk di teras rumah. Ia terlihat rapi. Ayah dan ibunya keluar dari dalam rumah dan duduk di teras dekat Burhan. Ayahnya juga terlihat rapi, dengan baju batik lengan panjang dipadu celana katun hitam. Sepatu yang dibawa ayahnya dari dalam rumah kemudian di pasang setelah duduk beberapa saat. Mereka sepertinya akan pergi ke suatu tempat. Tapi ibu Burhan sepertinya tidak ikut. Ibunya terlihat masih mengenakan baju daster santai. Ayahnya sambil mengenakan sepatu berkata pada Burhan.

“Nanti di sana buyuang (panggilan umum untuk anak minang) lihat-lihatlah dahulu, pilih mana yang buyuang suka, Kalau uang ayah cukup, ayah belikan”.

Burhan terlihat senang dengan kata-kata ayahnya itu. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya.

Setelah pamitan pada ibunya, mereka kemudian naik mobil sedan corona biru milik ayahnya. Mobil tersebut dibeli oleh ayah Burhan dua tahun yang lalu. Di depan sebuah show room sepeda motor mereka kemudian berhenti dan memarkir mobil di seberang jalan show room itu. Show room itu menjual berbagai merek kendaraan dari berbagai keluaran. Dengan perasaan senang Burhan menyeberangi jalan dan langsung memasuki show room sepeda motor itu. Ia berhenti sejenak untuk menunggu ayahnya yang berjalan lambat dan tertinggal di belakang.

“Pilihlah mana yang buyuang suka !”. Ayahnya memberikan kebebasan untuk memilih sendiri sepeda motor mana yang ia suka.
Tanpa pikir panjang Burhan menuju sebuah sepeda motor yang berada di bagian sudut sebelah kanan show room. Di sana terdapat sebuah sepeda motor besar mirip sepeda motor yang digunakan para pembalap ditelevisi.

“Buyuang mau yang ini yah !”. Sambil memandang ayahnya dan menunjuk sepeda motor tersebut.

Ayahnya kemudian berjalan mendekati sepeda motor yang ditunjuk oleh Burhan. Seorang pramuniaga yang menyambut kedatangan mereka kemudian mengikutinya dari belakang. Setelah memandangi sejenak sepeda motor itu, ayahnya kemudian bertanya tentang sepeda motor tersebut pada pramuniaga yang berdiri di belakangnya. Setelah mendengar penjelasan serta harga sepeda motor tersebut ayahnya kemudian menyarankan kepada Burhan untuk melupakan sepeda motor itu dan menawarkan sepeda motor model yang lain. Namun Burhan sudah bulat tekadnya untuk memiliki sepeda motor balap tersebut. Ia berprinsip, kalau tidak motor balap tersebut, lebih baik tidak bersepada motor. Ayahnya kemudian mencoba menjelaskan pada Burhan kalau uang yang mereka miliki tidak cukup untuk membeli sepeda motor tersebut. Kekerasan hati Burhan akhirnya tidak membuahkan apa-apa. Dengan tangan kosong akhirnya mereka kembali pulang ke rumah. Sepanjang jalan pulang, mereka berdua hanya saling diam. Sebenarnya yang jadi masalah bagi ayah Burhan bukanlah harga dari sepeda motor itu. Sebenarnya yang menjadi permasalahan bagi ayahnya adalah masalah bentuk dari motor tersebut yang seperti motor balap.

Sejak pulang dari show room itu Burhan hanya diam, tak sepatah katapun ke luar dari mulutnya. Setelah makan malam Burhan yang biasanya menonton televisi baru pergi tidur, tapi sekarang langsung masuk kamar dan menutup pintu kamarnya. Ia mengambil selembar kertas HVS dan pensil. Ia mencoba membenamkan diri dalam lukisannya. Dilantai, dibagian ujung tempat tidurnya yang berada didekat jendela, tampak berserakan kertas-kertas HVS berisi sketsa-sketsa lukisannya. Kepandaian Burhan menggambar merupakan bakat yang dibawanya sejak lahir. Sebuah sketsa pemandangan selesai ia buat, ia membalik kertas gambar tersebut dan kembali mulai menggambar di bagian yang kosong. Kali ini ia terlihat menggambar sebuah sketsa wajah, sketsa wajah seorang perempuan, seraut wajah cantik, entah siapa, yang jelas gambar itu tersenyum padanya yang tak pernah tersenyum sejak mengoreskan pensil membuat wajah itu.

Dari luar terdengar suara pintu di ketuk seseorang. Burhan sedikitpun tak menggubris suara itu, ia terus saja menggoreskan pensilnya. Perlahan pintu kamarnya di buka, ayahnya masuk dan berdiri di belakang Burhan. Ia tahu kalau ada seseorang yang berdiri di belakangnya, sejenak ia berhenti menggoreskan pensil dari kertas gambar, sedikit terusik oleh kedatangan orang yang berdiri di belakangnya. Ayahnya hanya memperhatikan gambar yang dibuat Burhan dari belakang tanpa mengomentari apa-apa. Kembali Burhan menggoreskan pensil meneruskan sketsa yang dibuatnya.

“Atsirannya, sepertinya kurang jelas Yuang, coba hitamkan lagi yang sebelah sini !”.

Ayahnya mengomentari gambar yang dibuatnya. Tangannya terjulur ke depan menunjuk bagian wajah yang menurutnya kurang gelap. Tanpa menoleh ke belakang Burhan mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk oleh ayahnya kemudian menggerakkan pesil gambarnya ke bagian yang di tunjuk oleh ayahnya. Sebagai tanda bahwa ia setuju dengan pendapat ayahnya, ia menggoreskan pensilnya pada bagian itu untuk memberikan kesan gelap yang lebih. Ayahnya kemudian duduk di ranjang tidur, mengambil sebuah lukisan yang berserakan di lantai, setelah memperhatikan lukisan itu sejenak, kemudian ia meletakkannya kembali dan memperhatikan anaknya dari belakang.

“Besok, sepulang sekolah kita jalan-jalan ke show room dekat kota, buyuang pilih sepeda motor yang buyuang suka, tapi tidak yang seperti tadi”.

Ayahnya mencoba memancing pembicaraan. Tapi sedikitpun tidak di tanggapinya. Ia terus larut dalam setiap goresan yang ia torehkan pada kertas gambar di depannya.

“Jangan tidur terlalu larut, besok sekolah pagi !”.

Setelah mengatakan hal tersebut ayahnya bergerak menuju pintu kamar dan keluar. Sedikitpun Burhan tidak berniat untuk memalingkan kepalanya dari gambar yang ia buat. Setelah merasa cukup, Ia kemudian melipat kertas gambar tersebut, hingga kertas gambar tersebut hanya memperlihatkan gambar sketsa wajah seorang perempuan tersenyum. Sketsa itu kemudian ditempelnya ke dinding kamar. Setelah memandanginya beberapa saat, ia berdiri bergerak menuju tempat tidur. Dari sana ia memandangi gambar perempuan itu.

Kamar Burhan berukuran 3,5X4 M. Sebuah lemari pakaian dengan cermin besar berdiri di sudut kamar dekat pintu masuk. Meja belajar terletak dibagian yang sama di sudut yang berbeda, sebuah lampu belajar kecil menghiasi salah satu sudutnya. Di dinding kamar tidak satupun terlihat gambar-gambar atau hiasan atau juga lukisan yang pernah dibuat oleh Burhan. Di dekat tempat tidur di bawah jendela yang di beri kaca nako berserakah lukisan-lukisan tangan Burhan. Lantai kamar di lapisi permadani berwarna kelabu. Tempat tidur Burhan yang terbuat dari kayu hanya berukuran 1,2X2 M. Di sana terlihat Burhan tertidur dengan pulas sambil memeluk bantal guling. Posisinya memperlihatkan kalau ia tertidur karena lelah memandangi sketsa wajah perempuan yang tadi ia buat.

***

Pagi itu Burhan bangun dengan malas. Ia langsung menuju kamar mandi. Ibu dan ayahnya terlihat duduk di ruang makan. Di atas meja terlihat beberapa makanan kecil dan beberapa gelas teh yang tidak lagi panas. Burhan melintasi ruangan makan itu dengan handuk melingkar di lehernya menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian ia keluar dan kembali ke ruang makan. Mengambil sebuah kue lapek dan meminum teh yang di sediakan untuknya.

“Ayo buyuang kita berangkat, nanti kamu telat ke sekolah”.

Burhan berdiri menyandang tasnya, ia mengikuti ayahnya dari belakang.

Sepulang sekolah Burhan tidak langsung pulang ke rumah. Ia terlihat berjalan-jalan di atas trotoar sepanjang jalan Patimura. Di samping sebuah apotik yang terletak di persimpangan ia berhenti dan duduk lesehan di ubin teras apotik. Tempat itu memang cocok untuk duduk-duduk menikmati kesibukan kota Padang. Dari sana pandangan bisa di lepas sebebas mungkin, jarak dan ruang lingkup pandangan bisa dilepas dengan sudut 270 derajat. Jelas sudut pandang seperti ini akan memberikan kenyamanan tersendiri bagi siapa saja. Di atas trotoar terlihat beberapa pedagang kaki lima. Penjual koran, penjual sate ayam dan es rumput laut, penjual rokok, tersebar di tiga titik yang berjarak. Kios penjual koran mengambil tempat di sebelah kanan, kedainya yang sederhana sama sekali tidak mengganggu pemandangan. Gerobak sate ayam dan es rumput laut mengambil titik tepat di depan pandangan Burhan, jualannya yang selalu ramai di datangi pengunjung menambah kenyamanan tersendiri untuk mengamati setiap tindakan manusia. Sedangkan penjual rokok mengambil sudut sebelah kiri, di bawah sebuah pohon mahoni ia mendirikan kios beroda ukuran 1,5X2 M. Posisinya yang seakan-akan bersandar pada pohon itu membuat kios kecil itu menjadi sebuah pemandangan yang indah. Lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki yang silih berganti datang-pergi membuat Burhan lupa kalau hari sudah sore.

Sebuah mobil Honda Civic berhenti tepat di depan Burhan, tentu saja hal itu mengganggu. Tapi Burhan bukan tipe orang yang suka mempermasalahkan apa yang ia sendiri tidak suka. Berdiri dengan wajah yang kurang senang, Burhan berjalan menuju arah trotoar jalan, bergabung dengan beberapa orang yang sedang menunggu oplet. Tidak terlalu lama Burhan berdiri di sana, sebuah oplet warna merah dengan nomor trayek 411 berhenti tepat di depannya. Ia juga bukan tipe orang yang suka memilih-milih kendaraan seperti kebanyakan remaja kota. Langung saja ia menaiki mobil oplet tersebut dan membawa dirinya untuk segera pulang.

Di depan rumah ibunya terlihat sibuk membenahi dan menyiram bunga-bunga yang di pajang sepanjang teras depan rumah. Setelah mengucapkan salam Burhan langsung masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Tidak lama kemudian ia keluar dan terlihat tidak lagi mengenakan pakaian sekolahnya, ia telah menggantinya dengan pakaian rumah. Ia duduk di ruangan menonton bergabung dengan ayah dan kakak perempuannya.

“Dari mana Buyuang ?, ayah tunggu dari tadi, bukankah kita sudah janji pergi melihat-lihat motor untuk Buyuang”.

“Nggak ada, tadi duduk-duduk di Patimura”.

“Buyuang lupa ?”.

Burhan tidak menanggapi sama sekali pertanyaan ayahnya. Ia asik menonton, walaupun sebenarnya ia ingin sekali menjawab. Ayahnya tidak mengambil pusing tindakan anaknya itu. Ia juga menyibukkan diri dengan koran yang ada di tangannya. Kakak perempuannya seakan tidak peduli dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Mega, tolong matikan sanio di belakang !”.

Terdengar suara ibu mereka memanggil nama kakaknya yang sedang asik menonton televis.

“Yuang !”.

Kakak perempuannya memberikan isyarat pada Burhan untuk melakukan pekerjaan yang di suruh ibunya. Tanpa terniat untuk komplen sedikitpun Burhan berdiri dan menuju ke dapur. Dari ruang menonton tersebut terdengar suara sanio dimatikan. Tapi Burhan tidak kembali ke ruangan menonton. Ia keluar lewat pintu dapur untuk pergi bermain.

Setelah makan malam mereka semua duduk di ruang santai sambil menonton televisi.

“Bagaimana yuang ?, besok pulang sekolah ayah jemput atau buyuang datang ke kantor ayah ?”.

“Biar buyuang yang ke kantor ayah”.

“Baiklah kalau begitu. Hari ini buyuang tidak ada tugas sekolah ?”.

“Tidak yah”.

“Nggg…”. Hanya itu yang keluar dari mulut ayahnya.

Burhan terlihat bosan dengan ulah kakaknya yang sedari tadi gonta-ganti chanel televisi. Ketidak senangannya tersebut ia wujudkan dengan pergi masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil selembar kertas HVS dari bungkusannya. Sebuah pensil B3 ia keluarkan dari tempat pensil yang ada di sudut meja belajar tersebut. Burhan mulai terlihat sibuk menggores-gores kertas putih itu. Ia mulai larut dalam setiap goresan yang ia buat. Sketsa wajah seorang perempuan kembali terlukis di atas kertas itu. Sketsa wajah perempuan dengan senyum menghiasi bibirnya yang tipis. Wajah yang tergambar kali ini bukan wajah perempuan yang kemaren ia buat. Kali ini wajah itu sepertinya milik orang yang agak kurus, ada sedikit lesung pipit menghiasi pipi perempuan itu. Hidungnya terlihat juga sedikit agak mancung. Kecantikannya tidak kalah dari perempuan yang kemaren ia buat. Setelah memandangi lukisan itu beberapa saat, ia memberikan sedikit goresan di bagian bawah bibir wajah itu yang terlihat presisi dengan roman wajahnya. Sebuah tanda tangan ia bubuhkan pada bagian bawah sebelah kanan, tanda bahwa itu adalah hasil haryanya dan sekaligus tanda bahwa lukisan itu telah selesai. Seperti malam sebelumnya, kertas gambar itu dilipat sehingga yang terlihat hanya sebatas wajah perempuan yang dilukisnya saja. Ia beranjak dari kursi dan bergerak menuju tampat tidur, dari sana ia mulai mengamati lukisan sketsa wajah perempuan itu, sampai akhirnya ia tertidur pulas.

***

Beberapa bulan telah berlalu sejak kejadian di show room itu, telah beberapa kali juga rencana ayahnya untuk mengajak Burhan gagal.

Sebuah sepeda motor keluaran Suzuki merek RGR berhenti diluar pagar rumah Burhan. Sebuah sepeda motor yang mengambil desain sepeda motor balap, membuat remaja-remaja kota mendambakan untuk memilikinya, tidak terkecuali juga Burhan. Tampak pengendara sepeda motor itu tidak cocok dengan sepeda motor besar itu. Tubuhnya kecil dan sedikit pendek. Sehingga untuk berhenti dia harus menginjitkan kakinya agar seimbang. Diseberang sungai depan rumah Burhan terlihat beberapa orang temannya menunggu yang juga datang dengan beberapa kendaraan. Malam itu mereka berencana untuk pergi ke sebuah pesta pernikahan kakak seorang teman mereka. Kebetulan tempat pesta tersebut bersebelahan kampung dengan Burhan. Sambil berboncengan dengan temannya yang mengendarai motor besar itu, mereka pun berangkat. Tentunya setelah berpamitan dengan orang tua Burhan.

Sebuah meja ukuran 1,2X1,2 M dan 6 kursi kayu terlihat kosong tak di duduki orang. Mereka menuju tempat tersebut dan duduk melingkari meja. Cukup lama mereka duduk, seorang anak laki-laki datang menghampiri sambil membawa ceret berisi kopi dan beberapa gelas kosong di atas nampan. Ia meletakkan hidangan tersebut dan mempersilahkan mereka untuk menikmatinya. Tak lama berselang teman mereka yang kakaknya menikah tersebut datang dan bergabung bersama mereka.

“Kalau sibuk, sibuk aja kawan, biarlah kami duduk-duduk di sini”. Teman Burhan yang bernama Yose mengomentari ke datangan temannya itu.

“Nggak boleh saya duduk di sini ?”. Seloroh kawannya yang kakaknya menikah tersebut.

“Bukan begitu, jangan nanti gara-gara kami, kerja kawan terganggu pula”.

“Nggak, nggak apa-apa, lagian yang lain kan masih banyak”.

Teman mereka tersebut memberitahukan kalau anak-anak sepasukuannya banyak yang datang membantu.

“Oh..ya kawan, makannya kapan nih ?”. Teman Burhan yang bernama Johan bertanya.

“Nanti jam sebelasan”. Temannya tersebut mencoba menginformasikan.

“Sampelangnya masih ada kawan ?, nggak mungkinkan kalau kami duduk-duduk aja !”. Giliran Burhan pula yang bertanya.

“Sebentar saya ambilkan”. Setelah mengatakan itu teman mereka tersebut pergi masuk ke dalam rumah.

Tak lama setelah itu ia keluar kembali sambil memegang sebuah kaleng. Ia kemudian menyerahkan kaleng tersebut pada Yose, dan kemudian pamit pada semua, ia menyampaikan kalau ia ada pekerjaan yang harus ia selesaikan di belakang. Sesaat kemudian mereka yang duduk di meja itu telah sibuk main sampelang.

Di sekitar tempat itu ada sekitar sepuluh buah meja yang ukurannya berbeda-beda. Empat meja petak ukuran 1,2X1,2 M, satu telah di tempati oleh Burhanudin dan kawan-kawan. Enam meja panjang ukuran 1,5X3 M. Meja-meja tersebut di tata sedemikian rupa hingga orang-orang duduk di masing-masing meja tidak saling mengganggu. Tidak seluruh meja yang ada yang terisi oleh tamu, dua meja panjang terlihat masih kosong. Beberapa kursi plastik terlihat masih teronggok di salah satu sudut rumah. Sebuah pentas kecil juga menghiasi halaman rumah tersebut. Di atas pentas sedang berlangsung acara rabab yang di datangkan dari daerah Pesisir Selatan.

Orang-orang yang duduk di tiga meja petak yang lain terlihat sedang berlangsung permainan kartu remi. Mereka bertaruh sejumlah uang yang nilainya tidaklah besar, hanya sekedar untuk kepentingan hiburan saja. Pemainnya ada yang terdiri dari lima orang dan ada yang enam orang. Meja-meja tempat berlangsungnya permainan kartu remi di kelilingi oleh beberapa orang, kalau dihitung satu meja ada sekitar 9 sampai 10 orang. Mereka yang tidak terlibat permainan hanya menonton jalannya permainan tersebut.

Di empat meja panjang juga sedang berlangsung beberapa permainan. Dua meja sedang berlangsung permainan sampelang, permainan ini hanya di mainkan oleh empat orang. Mereka juga mempertaruhkan sejumlah uang yang besarannya juga tidak seberapa. Beberapa orang juga terlihat sebagai penonton saja.

Di dua meja panjang lainnya terlihat sedang berlangsung permainan koa. Sebagian orang ada juga yang menyebutnya dengan permainan kartu kuning. Permainan ini kabarnya adalah permainan khas Minangkabau. Hampir di sebagian besar kenagarian di Minangkabau mengenal permainan ini. Permainan ini menggunakan kertas seukuran dengan kartu domino. Hanya saja, kalau kartu domino berisi gambar titik-titik. Sedangkan kartu koa ini berisi gambar-gambar grafity. Kalau kartu domino berjumlah 28 lembar per set, kartu koa ini jumlahnya 60 lembar per set nya. Jika yang bermain 4 orang, maka akan digunakan 3 set, jadi total kartunya 180 lembar. Tapi jika pemainnya ada 6 orang maka akan digunakan 4 set, artinya ada 240 lembar kartu untuk dimainkan. Kalau di lihat motif-motif yang digunakan sama sekali tidak ada mengambil moti-motif dari Minangkabau. Motif yang tergambar dalam kertas koa tersebut mungkin lebih tepatnya mirip motif-motif dari Cina. Satu hal yang mengherankan, dalam masyarakat Cina sendiri sama sekali tidak mengenal permainan ini. Permainan ini di ikuti berpasangan 2 lawan 2.

Permainan ini juga menggunakan sejumlah uang sebagai taruhannya. Sedikit berbeda dengan meja-meja yang lainnya, mereka yang terlibat dalam permainan koa ini sering kali tertawa bersama-sama. Saling menggoda bercanda diantara lawan main mereka. Suara yang di keluarkan dari meja pemain koa sedikit ribut di banding meja yang lainnya. Dimeja itu juga di penuhi oleh beberapa orang. Sama halnya dengan dua meja panjang yang lainnya, sebagian dari mereka yang tidak terlibat dalam permainan terlihat asik menikmati jalannya permainan dan juga kadang ikut dalam goda dan canda para pemain. Sesekali mereka yang dimeja permainan koa terdengar bersorak mengomentari jalan cerita yang dibawakan oleh para pemain rabab.

“Sudah waktunya makan kawan”. Teman Burhan yang kakaknya menikah menghampiri meja tempat Burhan dan kawan-kawannya.

Ia memberitahukan kalau sudah waktunya untuk makan. Setelah saling tolak-menolak untuk siapa yang pertama berdiri dan maju, akhirnya mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Berbeda dengan orang-orang yang lain yang datang ke pesta tersebut. Burhan dan kawan-kawannya makan di dalam rumah. Sedangkan tamu-tamu yang lain makan di halaman tempat permainan itu berlansung

Leave a Reply:

Your email address will not be published. Required fields are marked *