Minangkabau dan Simbolik (Sebuah Pengantar)

May 6, 2023

Minangkabau

Salah satu cara – bukan satu-satunya cara – untuk memahami cara pandang suatu masyarakat akan diri dan lingkunganya tidak hanya dilihat dari gejala materialnya (things) saja, tetapi juga dari cara-cara bagaimana simbol-simbol budaya tersebut diatur dalam pikiran mereka (mind). Pada tataran ini kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat dilihat sebagai sistem simbolik (system of symbols). Melihat masyarakat atau kebudayaan sebagai fenomena simbolik adalah salah satu pemahaman (perspektif) yang ditawarkan ilmu antropologi dalam melihat kebudayaan dan masyarakat. Sistem simbol-simbol ini diatur oleh manusia di dalam pemikiran mereka dalam bentuk suatu pengetahuan budaya.

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan berfungsi sebagai pengarah dan pedoman bagi tingkah laku manusia dalam menjalani dan menginterpretasikan berbagai pengalaman mereka sebagai warga dari komunitas dan kesatuan sosialnya. Sistem pengetahuan ini di dapat melalui proses belajar, belajar dari apa yang diberikan oleh alam maupun belajar melalui proses pewarisan.

Salah satu cara untuk melihat kebudayaan sebagai sistem simbolik adalah dengan menangkap makna dari setiap tindakan dan interaksi yang dilakukan oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut (holistik). Pada konteks ini untuk melihat kebudayaan suatu masyarakat, saat yang paling tepat adalah ketika mereka melakukan interaksi. Interaksi dalam hal ini tidak hanya terbatas pada interaksi antar individu, tapi juga interaksi yang dilakukan dengan alam atau lingkungan (termasuk interaksi yang dipandu melalui simbol-simbol).

Sebagai panduan untuk saling memahami, berkomunikasi, dan mewujudkan tindakan, maka kebudayaan memiliki kekuatan yang besar untuk memaksa setiap individu untuk bertindak sesuai dengan apa dijelaskan oleh “nya” (kebudayaan). Lebih jauh dan kongkrit Sairin mengungkapkan : “perlu dijelaskan dengan tegas bahwa sistem pengetahuan dan gagasan yang tidak mampu menjadi pengarah dan pedoman bagi sikap dan tingkah laku manusia, tidak dapat disebut sebagai kebudayaan. Hal tersebut hanya dapat dikatakan sebagai “pengetahuan” saja. Mereka yang memiliki pengetahuan dan gagasan tentang disiplin dan keadaan sosial misalnya, tetapi tidak menjadikan pengetahuan dan gagasan tersebut sebagai landasan dari sikap dan perilaku mereka, maka pengetahuan dan gagasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan, tetapi hanya terbatas pada “pengetahuan” dalam arti khusus.

Pernyataan Sairin ini apabila digunakan dalam pengkajian masalah simbol, sepertinya terlalu tegas membatasi antara pengetahuan yang menjadi kebudayaan dan pengetahuan yang hanya menjadi “pengetahuan” saja. Bagaimanapun juga nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah simbol yang tidak lagi menjadi landasan bagi masyarakatnya untuk bertindak, namun ia tetap menjadi bagian dalam masyarakat tersebut. Sebuah contoh rumah gadang, dalam masyarakat Minangkabau diketahui bahwa setiap suku memiliki rumah gadang. Walaupun pada saat sekarang pengetahuan itu hanya sekedar sebuah pengetahuan, tapi hal ini tidak dapat dikatakan hanya sebagai pengetahuan dalam artian khusus, karena rumah gadang sampai saat sekarang masih menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Minangkabau. Hanya saja pengetahuan seperti ini tidak lagi terealisasi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau saat ini. Oleh karena itu rumah gadang bagi masyarakat tidak lagi memiliki makna yang sakral, tapi ia telah berobah menjadi sesuatu yang profan (biasa) dalam kehidupan masyarakat Minangkabau saat ini. Nilai prestice yang dimiliki rumah gadang sudah tidak dimiliki lagi oleh masyarakat Minangkabau. Sebuah suku tanpa rumah gadang merupakan hal yang biasa dan tidak terlalu di permasalahkan pada saat sekarang.

Kebudayaan yang dianggap sebagai sistem pengetahuan yang di miliki tidak hanya dipahami apa adanya. Kebudayaan adalah pola-pola makna yang diwariskan secara historis dan terwujud sebagai simbol-simbol… yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikapnya terhadap kehidupan. Artinya untuk memahami sebuah kebudayaan dalam suatu masyarakat, seseorang dituntut untuk mempelajari simbol-simbol yang ada dalam masyarakat tersebut. Tanpa memahami terlebih duhulu simbol-simbol budaya tersebut, seseorang akan sulit untuk berinteraksi. Lebih jauh untuk memahami apa yang diinginkan masyarakat tersebut, tidak akan dapat ditangkap dan dimengerti tanpa memahami terlebih dahulu simbol-simbol yang ada dalam budaya mereka.

Kebudayaan yang diwariskan secara historis bukan berarti tidak dapat dipahami oleh orang lain di luar kebudayaan tersebut, melalui proses belajar seseorang yang berada di luar kebudayaan itu juga dapat memahami makna dari simbol-simbol itu. Sebagai orang luar (outsider) dari suatu kebudayaan, proses belajar inilah yang melahirkan stereotipe-streotipe, baik yang mereka dapatkan dari pengalaman-pengalaman orang lain, maupun pengalaman langsung ketika berada di lapangan.

Simbol-simbol budaya yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari ada yang dapat dimengerti dan yang tidak dapat dimengerti, dimana semua itu tergantung pada sejauh mana pengetahuan budaya yang dimiliki oleh seseorang. Sebuah contoh saat mahasiswa akan ke kampus, di tengah perjalanan terlihat ada sebuah bendera berwarna hitam yang bertuliskan huruf-huruf arab yang ditegakkan di tepi jalan, lalu di tempat lain juga menemukan bunga, lilin, kue-kue dan di sana juga terdapat hyo yang tertumpuk pada satu tempat. Di dalam kendaran tersebut setidaknya akan ada beberapa asumsi yang muncul dari fenomena itu.

Mahasiswa yang memiliki latar belakang budaya Minangkabau ketika melihat bendera yang bertuliskan huruf-huruf Arab akan berasumsi bahwa di sekitar tempat itu ada peristiwa kematian, tetapi mereka akan bertanya-tanya tentang  fenomena yang lainnya. Orang Cina ketika melihat fenomena bendera tersebut mungkin akan bertanya-tanya tanda apa itu. Sebaliknya, ketika ia melihat hyo, kue dan lilin akan mengetahui bahwa di tempat itu sebelumnya ada orang yang sembahyang. Perbedaan asumsi dalam melihat fenomena-fenomena simbolik ini mencerminkan sejauh mana pengetahuan budaya – termasuk pengetahuan lintas budaya – yang mereka miliki.

Masyarakat Minangkabau, sebagaimana masyarakat di belahan dunia lainnya, dalam kehidupan kesehariannya tidak terlepas dari penggunaan simbol-simbol yang mewakili perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengatur setiap gerak masyarakat pendukungnya. Di Minangkabau begitu banyak upacara-upacara adat yang menggunakan simbol-simbol yang sampai saat ini masih dipertahankan. Penggunaan simbol-simbol dalam upacara adat bukan hanya untuk dipertontonkan, tetapi hal ini perlu dilihat sebagai proses sosialisasi nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat. Terutama dalam upaya menyiapkan diri menjadi anggota masyarakat yang lebih dewasa dalam kehidupan dan lingkungannya.

Menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, makna dan hikmah dari upacara-upacara adat yaitu :

  1. Mengikat rasa persatuan dan kesatuan mulai dari tingkat sekaum, tingkat nagari, dan sampai tingkat luhak.
  2. Mengikat rasa sesakit sesenang, ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun, dan seberat seringan.
  3. Mengikat rasa kebersamaan dalam hidup se kampung.
  4. Mengikat tali kekerabatan sesama anggota kaum dan nagari.
  5. Upacara adat juga merupakan barometer bagi individu maupun masyarakat dalam hidup bermasyarakat.

Upacara-upacara adat dalam masyarakat Minangkabau merupakan warisan budaya yang pada sebagian masyarakatnya masih terus mempertahankannya. Pada akhir kehidupan, yaitu kematian juga diadakan upacara adat yang di setiap daerah berbeda-beda nama dan proses pelaksanaannya. Upacara adat kematian ini erat kaitannya dengan proses sosialisasi dari nilai-nilai sosial dan budaya. Fungsi dari sebuah upacara adat kematian bagi masyarkat Minangkabau adalah untuk memperkokoh norma-norma serta nilai-nilai sosial budaya yang telah berlaku sejak lama di kalangan masyarakat, terbukti mereka menghadiri upacara kematian tradisional itu secara hikmat dengan suasana magik dan sakral lengkap dengan perlengkapan dan peragaan bermakna simbolik.

Dalam upacara kematian ada rangkaian-rangkaian kegiatan yang telah tertata dan terpola yang selalu dijalani secara beraturan oleh masyarakat suku bangsa Minangkabau, acara-acara yang diadakan tersebut bisa sebelum atau sesudah kematian :

  1. Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk).
  2. Anta kapan dari bako (keluarga bako mengantarkan kain kafan kerumah duka).
  3. Cabiak kapan, mandi maik (memotong kafan dan memandikan mayat).
  4. Kacang pali (mengantarkan mayat kepemakaman).
  5. Manigo hari, manujuah hari, ampek puluah hari, saratuih hari kadang sampai saribu hari (memperingati hari ketiga, hari ketujuh , hari ke empat puluh, hari keseratus, kadang sampai hari yang ke seribu).

(Arvonceda)

Daftar Istilah dan Bacaan :

Izati, dkk, Penyelenggaraan Mayat Sebagai Kegiatan Sosial di Minangkabau, Sumatera Barat : Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Barat, 2000.

LKAAM Sumatera Barat, Adat Minangkabau (Sejarah dan Budaya), Tropic Offset Printing, Padang, 1987.

A.A.Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, Graffiti pers, Jakarta, 1986.

Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta : Konisius, 1999.

Bambang Rudito, Hubungan Antar Suku Bangsa, Jurnal Antropologi II, Laboratorium Antropologi Mentawai FISIP Universitas Andalas, Padang, 1999.

Zainal Arifin, Konsep Budaya, Jurnal Antropologi III, Laboratorium Antropologi Mentawai FISIP Universitas Andalas, Padang, 1999.

Safri Sairin, Perobahan Sosial Masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.

Bako yaitu keluarga pihak ayah.

Sekaum sama dengan separuik, artinya gabungan dari beberapa keluarga (suku) yang diambil dari garis keturunan ibu, tidak termasuk keluarga bapak.

Nagari merupakan pemukiman yang telah mempunyai alat perlengkapan pemerintahan yang sempurna. Didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan panghulu puncak atau panghulu tua sebagai pimpinan pemerintahan tertingginya.

Luhak merupakan pembagian daerah terbesar pada wilayah Minagkabau, dimana Minangkabau pada waktu dulunya terbagi dalam tiga luhak, yaitu, luhak Tanah Datar, luhak 50 kota dan luhak Agam. Namun terakhir juga lahir Luhak Kubuang Tigo Baleh.

Hyo yaitu Lidi untuk sembahyang orang cina yang asapnya berbau harum. Terbuat dari serbuk kayu cendana.

Rumah gadang merupakan sebutan untuk rumah adat Minangkabau. Dalam bahasa Indonesia artinya Rumah Besar. Rumah gadang di sini bukan hanya pengertian fisiknya, tapi lebih mengacu pada fungsi dan perannya bagi masyarakat Minangkabau.

 

Baca juga : https://dallynfriends-adventure.com/2022/11/17/orang-pendek-sako-hutan-primadona-pencarian-orang-pendek/

 

Leave a Reply:

Your email address will not be published. Required fields are marked *