Rumah di Subarang Aia (2)

May 21, 2023

Rumah di Subarang Aia

ISTRI KEDUA

Hari itu Ayah Burhan pulang sudah larut malam. Setelah mengemasi barang-barangnya  di mobil,  Ayah Burhan langsung masuk ke dalam rumah dan terus menuju kamar tidur.  Burhan dan kakaknya nya terlihat asyik menonton.  Biasanya setelah merapikan barangnya di dalam kamar Ayah Burhan akan bergabung menonton bersama mereka.  Tapi kali ini tidak,  ibu Burhan kemudian beranjak ke kamar untuk melihat kondisi suaminya.  Ternyata Ayah Burhan sudah tertidur pulas, mungkin karena capek seharian sampai malam di kantor rapat dengan para petinggi yang datang dari Jakarta.

Ibu Burhan kembali dari kamar dan memberi isyarat kepada mereka untuk mengecilkan volume TV. Burhan kemudian berdiri beranjak untuk pergi tidur ke kamarnya.  Kebetulan memang acara televisi yang mereka tonton sudah selesai.  Mega mulai merapikan ruangan menonton keluarga itu, memunguti bungkus plastik bekas cemilan dan gelas-gelas bekas minum mereka tadi, mengangkatnya ke dapur untuk kemudian dicuci esok paginya.  Ibu Burhan kembali ke kamar bersiap untuk beristirahat.

Tengah malam tiba-tiba Ibu Burhan terbangun dan mendapati suaminya tidak ada di sampingnya.  Sambil menggeser posisi tidurnya  tampak Ayah Burhan sedang  sholat Dan mengucapkan salam tanda bahwa ia telah selesai Shalat. Setelah dzikir dan berdoa sejenak si Ayah kembali ke kasur untuk melanjutkan istirahatnya.

Ibu Burhan menggeser sedikit posisi tidurnya  ke dekat suaminya.

“Sholat Isya”.  Kata ayah Burhan tanpa ditanya.

“ Nggg…” Respon Ibu Burhan tanpa membuka mulutnya.

“ Sepertinya ayah akan dipindah  tugaskan”. Ayah Burhan bercerita tanpa diminta.

“ Cuma ayah yang memenuhi kriteria untuk pindah ke sana”.  Ayah Burhan melanjutkan Bicaranya sambil menoleh  kearah Ibu Burhan.

“ Istirahatlah,  Besok saja ceritanya”. Ibu Burhan tidak terlalu tertarik untuk  cara membahas pembicaraan  suaminya.

***

Pagi itu terlihat Ayah Burhan sedikit terburu-buru.
“ Buyuang… cepatlah,  Ayah sudah telat ini… !”. Kata ayah Burhan sedikit berteriak.

Burhan bergegas keluar rumah sambil menyandang Tas sekolahnya.

“ Kita ke kantor ayah dulu,  nanti pak Mukhlis mengantar  Buyung ke sekolah”.  Kata ayahnya sambil berjalan sedikit cepat.

“ iya  yah…”.  jawab Burhan singkat.

“ Buk… pergi dulu !”.  Ayah Burhan sedikit berteriak memanggil  istrinya.
“ Assalamualaikum !”.

“ Waalaikumsalam…!”. Ibu Burhan menjawab sambil berjalan menuju pagar rumah. Menutup pagar dan kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan memasaknya yang belum siap.

***

“ Masuk jam berapa Burhan?”.  Pak Mukhlis bertanya setelah masuk ke dalam mobil.

“ Jam 7.30 om “.. Jawab Burhan sambil melihat jam di dasbor mobil.

“ Masih 15 menit lagi, mudah-mudahan tidak kena macet kita “.  Kata Pak Mukhlis berharap.

“ Iya Pak “.  Jawab Burhan singkat.

Sesampai di sekolah Burhan langsung turun bergegas. terdengar bel tanda masuk berbunyi dan Burhan berjalan sedikit berlari.  pintu gerbang perlahan ditutup oleh satpam sekolah.

***

Siang itu di kantor ayah Burhan terlihat orang-orang memberikan selamat kepada ayah  Burhan.  Hasil rapat  akhirnya nya memutuskan kalau Ayah Burhan dan beberapa orang lainnya yang harus pindah memimpin  di beberapa kantor cabang daerah.

“ Akhirnya dapat promosi juga Pak  Zal, Walau harus pindah tugas”. Kawan ayah Burhan yang duduk semeja dengannya membuka pembicaraan.

“ Alhamdulillah Pak Heri, mudah-mudahan saya bisa menjaga kepercayaan kantor”.  Jawab  Ayah Burhan.

Sebenarnya Ayah Burhan sedikit berat hati dengan mutasi tersebut,  ia akan jauh dari  istri dan anak-anaknya.  Walaupun daerah tempat  ia dipindahkan kan cuma berjarak 4 jam perjalanan dengan mobil.  Tapi tetap saja tidak mungkin untuk bolak-balik setiap harinya.  Paling mungkin sekali seminggu baru bisa pulang.  Tapi tentu saja ia tidak ingin menampakan rasa keberatannya itu di depan kawan-kawan kantornya. Karena mungkin saja bisa berdampak buruk pada karirnya kedepan.

Sehabis makan siang  Ayah Burhan tidak kembali ke ruangannya. Hari itu ia  mendapat izin pulang cepat untuk mempersiapkan  kepindahannya  minggu depan.  Ayah Burhan juga mendapat cuti sampai hari keberangkatannya. Sedan Corona biru itu tampak parkir di depan sekolah Burhan.  Ayah Burhan sengaja tidak langsung pulang, ia berniat mengajak Burhan untuk makan siang di luar. Burhan sedikit heran melihat mobil ayahnya di depan sekolahnya. Sambil berdiri di samping mobil tersebut Burhan bertanya pada ayahnya yang asyik membaca koran di dalam mobil.

“ Ayah sudah pulang kerja?”. Tanya Burhan.

“ Sudah… masuklah, kita pulang sama”.

Tanpa pikir panjang Burhan langsung masuk  dan duduk di depan, meletakkan tasnya  di belakang kemudian mengenakan sabuk pengaman.

“Buyung lapar ?”.

“ belum yah”.

“ Kalau begitu kita minum saja”.

“  Buyung mau minum apa ?”.

“ Cendol Patimura enak kalau siang begini yah”.  Burhan mencoba memberikan pendapat.

Ayahnya mengangguk tanda setuju.

Setelah memarkir mobil,  mereka pun turun dan berjalan menuju meja kosong yang disusun dibeberapa titik diatas trotoar jalan oleh para pedagang kaki lima di sepanjang jalan Pattimura itu.  Ayah Burhan sengaja memilih meja yang agak jauh dari pembeli yang lain.

“ Kita di sini saja yuang”.  Ayah Burhan memilih meja yang tepat berada di bawah sebuah pohon sehingga terhindar dari panas matahari.
Burhan kemudian Meletakkan tasnya di kursi samping ayahnya dan bertanya.

“ Ayah mau es tebu atau cendol ?”.

“ Es cendol saja”.  Jawab ayahnya singkat

Burhan kemudian bergegas memesan minuman mereka. Ia tidak langsung balik ke meja ayahnya.  Ia terlihat ngobrol dengan pemilik es cendol.

“ Lai rami mak ?”. Burhan bertanya pada pemilik es cendol dalam bahasa Padang.

“ Alhamdulillah, lai mode patang juo raminyo nakan”.

“ Cindua duo tadi yo ?”. Pemilik es cendol memastikan pesanan Burhan.

“ Iyo…ciek sakanyo saketek sajo, ciek lai biaso”. Jawab Burhan menegaskan pesanannya.

Tidak butuh waktu lama untuk membuat minuman itu. Burhan membawa minuman yang sudah siap setelah mendengarkan informasi dari penjual es cendol.  Burhan pun memberikan gelas yang sedikit gula enaunya pada ayahnya.

Mereka terlihat menikmati Minuman itu dengan santai sambil mengamati lalu-lalang mobil dan orang-orang yang melewati jalan itu.

“Yuang !, ayah dipindah tugaskan ke daerah Solok”. Ayah Burhan membuka cerita.

“Kemungkinan besar ayah akan tinggal disana, ada rumah mesh yang sudah disediakan untuk ayah oleh kantor”. Lanjut ayah Burhan.

“Buyuang di Padang saja yah”. Burhan mencoba membaca arah pembicaraan ayahnya.

“Ayah pikir juga begitu, sebentar lagi kamu naik kelas 3, sayang kalau harus pindah sekolah sekarang”. Ayah Burhan memberikan alasan yang lebih baik.

“Tapi bukan itu masalahnya buyuang. Kalau buyuang dan uni Mega, ayah percaya kalian sudah bisa mengurus diri sendiri, selain itu etek-etek kalian kan juga banyak”.

“Ibumu tidak mau ikut ayah pindah kesana, dan ayah tentu tidak bisa harus setiap hari bolak balik Padang-Solok. Sudah tidak sanggup lagi ayah melewati itu”.

“Iya yah”. Jawab Burhan tanda setuju dengan alasan ayahnya.

Selain itu rute yang harus dilewati dapat dikatakan jalur sepi. Terlalu riskan untuk melewati jalan itu setiap harinya.

“Kenapa ibu tidak mau ikut yah ?”. Burhan bertanya ingin tahu.

“Tempat ayah bertugas itu terlalu dingin yuang, kau kan tahu kalau ibumu tidak tahan cuaca dingin. Asmanya bisa bertambah parah nanti disana”.

Burhan hanya mengangguk-angguk kecil mendengarkan.

“Ibumu juga khawatir meninggalkan unimu. Unimu kan sudah gadis sudah waktunya menikah, ibumu khawatir tidak sempat membimbing dan mengajarinya”.

“Iya yah”. Jawab Burhan mencoba memahami kalimat ayahnya.

“Sepertinya ayah juga akan kesulitan jika sehari-hari harus sendiri disana nanti”.

Lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Bisa buyuang jaga ibu nanti kalau ayah pindah kesana ?”. Ayahnya bertanya sambil melihat kearah Burhan.

Burhan hanya tertegun menatap es cendolnya. Tanya ayahnya tak dijawab oleh Burhan. Pikirannya sudah terbang kemana-mana mendapat pertanyaan itu.

***

Pagi itu matahari terasa menyengat kulit, padahal udaranya cukup dingin menusuk tulang. Kabut embun tipis jelas terlihat menyelimuti kawasan sekitar. Daerah baru tempat ayah Burhan ditugaskan memang terkenal dengan udaranya yang dingin sepanjang hari. Tak peduli apakah matahari bersinar terang tanpa penghalang, udaranya akan tetap terasa dingin. Bahkan keringat enggan untuk keluar, meskipun kita telah lelah berolahraga.

Jam sudah menunjukkan pukul 9. Burhan, ayahnya, ibunya dan uninya terlihat duduk diteras rumah sambil berjemur untuk mengusir hawa dingin. Sesekali orang-orang yang berlalu lalang di jalan depan rumah menyapa mereka dengan ramah.
Dari teras rumah itu pemandangannya cukup bagus untuk menikmati kawasan sekitar. Letaknya yang diketinggian bisa mengamati jalan utama kampung.

Sebuah mobil kijang nampak merangkak keatas dan kemudian masuk ke halaman rumah mereka. Seorang pemuda berpakaian kemeja rapi turun dari mobil. Berjalan ke arah mereka dan mengucapkan salam.

“Assalamualaikum…!”. Sapa anak muda itu.

“Walaikumsalam !”. Jawab mereka hampir berbarengan.

Tanpa basa-basi pemuda itu menarik sebuah kursi plastik dan mengambil posisi bergabung bersama mereka.

“Bagaimana pak Zal ?,…buk “. Ia menyapa ayah Burhan dan menganggup hormat pada ibu Burhan.

“Sudah larut malam kami baru bisa tidur, memang luar biasa udara disini”. Kata ayah Burhan menceritakan kondisi dan kekagumannya.

“Kamu sepertinya sudah terbiasa dengan udara disini ?”. Lanjut ayah Burhan.

“Saya sudah 3 tahun disini pak Zal, sudah terbiasa. Pagi ini belum seberapa dinginnya ini pak Zal. Pak Zal nanti akan dapat rasa bagaimana dinginnya kalau malam hari hujan dan reda menjelang dini hari. Paginya nggak tertahankan dinginnya pak Zal, saya sampai sekarang masih tidak bisa tahan kalau kondisinya seperti itu”.

“Ini….”. Anak muda itu menggerakkan tangannya menunjuk kawasan sekitar.

“Kalau sudah hujan sampai dini hari, tidak tampak lagi, tertutup embun semua. Wajah orang yang jalan didepan kitapun sudah tidak jelas lagi”. Anak muda itu terlihat sangat bersemangat menceritakan kondisi daerah itu.

“Sepertinya ibu lebih baik tinggal di Padang saja yah”. Ibu Burhan meyakinkan suaminya alasan untuk dia tetap di Padang.

“Kenapa tidak disini saja buk ?”. Tanya anak muda itu.

“Paling seminggu ibu sudah terbiasa dengan cuaca disini”. Kata anak muda itu mencoba meyakinkan ibu Burhan.

“Ada kiatnya biar kita bisa cepat menyesuaikan diri dengan kondisi cuaca disini buk”.

“O..iya ?”. Jawab ibu Burhan seperti ingin tahu.

“Saya dapat dari orang tua-tua disini waktu pertama pindah kesini”.

“Bagaimana caranya ?”. Tanya ibu Burhan.

“Pagi…, sebelum subuh, kita mandi”. Jawab anak muda itu dengan yakin.

“Mau lah beku badan ibu nanti semua, mandi sedingin itu”. Ibu Burhan menjawab sambil tertawa kecil.

“Saya sampai sekarang tak pernah tinggal mandi subuh itu buk, dinginya pas mandi saja, setelah itu nggak terasa dingin lagi”.

“Nantilah ibu coba”. Jawab ibu Burhan sekedar menyenangkan hati anak muda itu.

“Berangkat kita pak Zal ?”. Anak muda itu mengingatkan kalau dia datang untuk menjemput dan mengantar ayah Burhan ke kantor barunya.

***

Kriiing…kriiing…

Telepon diatas meja kerja itu tiba-tiba berdering. Ayah Burhan yang sedang asik mengetik di laptopnya meraih gagang telepon dan menjawab sapa dari penelepon.

“Hallo…?, Walaikumsalam”. Wajahnya tersenyum saat mendengar suara si penelepon.

“Bagaimana kabarnya anak ayah ?”. Ia bertanya dengan nada gembira.

Yang menelepon adalah Burhan yang baru pulang dari sekolah. Baju putihnya terlihat penuh dengan cat warna-warni. Tidak hanya bajunya, mulai dari rambut sampai sepatunya penuh dengan motif warna-warni.

“Buyuang lulus yah”. Dengan suara yang terdengar gembira dan penuh semangat, Burhan memberitahu ayahnya kalau dia telah lulus sekolah.

“NEM buyuang nomor 3 yah”. Burhan memberitahu ayahnya kalau nilai kelulusannya berada di peringkat ketiga dari keseluruhan siswa di sekolahnya.

“Anak ayah…pastilah”. Kalimatnya membanggakan Burhan.

“Jadi ayah ke Padang ?”. Burhan mengingatkan janji ayahnya kalau akan ke Padang jika ia lulus.

“Insyaallah…”. Jawab ayah Burhan.

Setelah puas berbicara dengan ayahnya, Burhan kemudian menutup telpon.

Sambil meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya ayah Burhan berkata pada perempuan yang duduk diseberang meja kerjanya.

“Burhanudin, sudah terima ijazahnya, rangking 3 dia”. Ia mencoba menyampaikan informasi yang dia dapat dari Burhan.

“Anak itu memang kelihatan kalau dia pintar”. Jawab perempuan itu sambil tersenyum.

Leave a Reply:

Your email address will not be published. Required fields are marked *